advertisements
advertisements
Gambar Bergantian

Tantangan Prabowo: Ekonomi Indonesia dalam Bahaya!

advertisements

Oleh : Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan.

Apakah ini pertanda baik ketika program kemandirian dan kedaulatan ekonomi atas kepemimpinan mandiri Prabowo selaku Presiden nanti ujiannya itu harus terbuktikan ke hadapan rakyat?

Di tengah-tengah di sebagian masyarakat masih adanya kebimbangan dan keraguan tentang kemungkinan nanti ada kepemimpinan matahari kembar? Bukan lagi Prabowo-Gibran tetapi sesungguhnya “Prabowo-Jokowi”? Dengan masih tetap menjalankan program-program berkelanjutannya?

Suatu semangat optimisme tinggi bahwa apa yang disampaikan oleh Prabowo dalam acara pembekalan Perwira Remaja di Balai Sudirman 13 Juli yang lalu memang sebagai ketumbenan agak berbeda dan bertentangan dengan Jokowi:

Buat apa banyak jalan tol, bandara, pelabuhan, bendungan-bendungan dibangun bilamana negara dalam kondisi tidak aman. Tengah ada ancaman serius yang membahayakan keamanan negara?

Pernyataan apa yang disampaikan oleh Prabowo itu bukan dimaksudkan sebagai suatu hal pembenaran atas adanya isu politik kepemimpinan kembar itu. Tetapi, keharusan diperlukan kepemimpinan mandiri dan berdaulat seorang Presiden Prabowo, adalah sudah suatu keniscayaan kebenaran genuine sesuai hukum konstitusional.

Di dalam preambul konstitusi UUD 1945 disuratkan tujuan negara itu yang pertama, adalah melindungi segenap tumpah darah. Baru menyusul meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, turut serta menjaga ketertiban dunia dst.

Maka, kebersenyawaan dengan judul artikel ini percaya atau tidak bahwa premis perekonomian NKRI dalam ancaman bahaya itu, adalah benar dan an sich adanya.

Apalagi ancaman itu secara langsung sampai bisa mengusik, menganggu dan menggoyahkan kedaulatan NKRI.

Dikarenakan serangan gempuran ancaman itu begitu dalam telah menusuk dan menembus sendi-sendi perekonomian secara sangat terstruktur, sistematis dan masif.

Maka, diprediksiksn tidak akan memakan waktu hingga lebih separuh satu dekade ke depan, NKRI akan mudah rapuh dan ambruk.

Kemudian menjadi negara bangkrut, adalah suatu keniscayaan —sebagaimana diutarakan oleh Prabowo sendiri dalam pidatonya yang berapi-api dalam kampanye politiknya di 2019 mengutip novel satire Ghost Fleet yang meramalkan 2030 Indonesia akan bubar.

Justru, tantangannya tengah mendekati jalannya di masa jabatan Presiden kepemimpinan Prabowo yang kini tengah disandangnya.

Ancamannya, yaitu gempuran berupa dasyatnya invasi ekonomi global. Yang terbesar itu, adalah memang berasal dari negara berstatus the new super power dunia China Tiongkok, RRC. Yang telah sempat pula menggoyahkan perekonomian Amerika dan Eropa. Apalagi dengan Indonesia?

Caranya yang tengah berlangsung hebat dan kencang menguras nyaris habis ekonomi di dalam negeri dengan pelbagai bisnis legal maupun ilegal. Kemudian, mengakibatkan the big tsunami rush dalam skala raksasa.

Yaitu, terjadinya pelarian arus dana yang begitu luar biasa mengalir derasnya ke China!

Sehingga, mengakibatkan kelangkaan perputaran sirkulasi keuangan real, fiskal dan moneter di dalam negeri. Kemudian, berakibat menaikkan laju angka inflasi berat dan sangat melemahkan nilai tukar rupiah.

Dan inilah yang tak mampu dilindungi oleh Jokowi-Ma`ruf Amin dalam bidang ekonomi, telah mengubah banyak arus sangat deras balik arah dari inward ke outward ekonomi. Sarana penyintasnya melalui proses digitalisasi global maupun konvensional korporasi mondial.

Perusahaan raksaaa unicorn digital e-commerce Alibaba dan TikTok, berafiliasi atau tidak dengan perusahaan domestik sejenisnya, seperti Tokopedia, Lazada, Shopee, Bukalapak, Blibli, dsb, membuktikan adanya serbuan dasyat barang-barang impor (harga dumping dan barang tiruan) yang membuat besar-besaran arus cash itu keluar negeri.

Dampaknya, sudah sangat terasa berat di tiga tahun terakhir: puluhan ribuan perusahaan menengah ke bawah, UMKM, Koperasi, pasar-pasar tradisional, PKL pada kelimpungan, bahkan sudah banyak yang mati suri.

Dan ironisnya, pun banyak perusahaan-perusahaan besar, seperti industri pabrikasi dan manufaktur aseng dan asing serta domestik yang melakukan bisnis operasionalnya di dalam negeri Indonesia, tetapi justru malah berkantor pusatnya di Singapura.

Ini mengisyaratkan —sebagaimana tercatat dalam data negara pemberi kreditor hutang dan investasi terbesar, saat ini adalah Singapura. Boleh jadi itu hanya anasir pialang yang sesungguhnya para lenders berasal dari RRC. Ini pun memberi kontribusi penambahan “rush” beterbangan dana ke luar negeri.

Berselang dua tahun belakangan hal miris pun hadir yang semakin merapuhkan sendi-sendi ekonomi itu, adalah kemunculan serbuan platform digital lenders ilegal, penyelenggara judol, pinjol dan para pelaku cyber crime yang marak meretas menembus batas negara apalagi Indonesia belum memiliki sistem ekonomi yang diproteksi secara hukum.

Di luar dugaan, eskalasi bisnis ketiganya, menurut data PPATK, dianalisis semenjak Maret 2023 hingga triwulan 2024 mencapai 600 trilyun. Boleh jadi sampai menghabiskan periode 2024, secara akumulatif bisa mencapai 2400 trilyun.

Itu nyaris menyamai jumlah angka keuangan kebutuhan rumah tangga APBN yang taruhannya, adalah stabilitas politik-ekonomi dan kemosipercayaan rakyat terhadap penguasa negara.

Belum lagi tindak kejahatan money laundring akibat merebak hasil korupsi oknum pejabat tinggi negara sendiri. Atau antara oknum pejabat tinggi dengan oknum pengusaha oligarki, dsb. Dananya yang tidak kalah luar biasa besar tengah diparkirkan ke Singapura, Swiss, Guam dan Hawaii.

Dan ini pun tengah menggerogoti dari dalam program kesayangan Jokowi: hilirisasi pertambangan, dikarenakan:

Pelarangan ekspor bahan mentah pertambangan minerba tak dipedulikan oleh perusahaan penambang ilegal yang justru dilindungi oleh oknum pejabat negara.

Sedangkan, keharusan hilirisasi malah banyak diserahkan kepada lagi-lagi perusahaan swasta asing dan aseng yang nyata-nyata juga tak terlepas dari adanya koneksitas kolusi para menteri di kabinet yang disebut dikenal sebagai “Penguasa-Pengusaha” pertambangan itu sendiri.

Bahkan, eskalasi income yang tadinya setahun hanya 3,3 miliar dollar uang dibanggakan oleh Jokowi sendiri melonjak menjadi 30 miliar dollar itu pun sebatas pendapatan berasal dari izin konsensi dan pajak usaha, dsb.

Berapa sesungguhnya core keuntungan bisnis penjualannya yang dilarikan oleh perusahaan-perusahaan aseng dan asing itu disembunyikan?

Bisa berpuluh-puluh ribu milyar dollar. Alih-alih bisa memantik mimpi kemakmuran rakyat itu menjadi nyata: pendidikan dan kesehatan gratis, sandang pangan murah, pengangguran dan fakir miskin disubsidi negara. Atau hutang dari semua debitur yang menakutkan lebih dari 20.000 triliun pun bisa dilunasi.

Dan jangan dikira dari program sektor prioritas infrastruktur Jokowi pun memberi penyumbang terbesar terjadinya “rush” pelarian dana keluar negeri:

Maka, pernyataan Prabowo “yang tak beda kumis”: buat apa jalan tol , bandara, pelabuhan, dan waduk bendungan banyak dibangun dananya berasal dari hutang dan investasi aseng-asing yang ujung-ujungnya harus dijual kembali juga ke asing-aseng pula?

Lantas, buat apa pula melanjutkan pembangunan IKN? Yang hanya merupakan ambisiusme kekuasaan liar Jokowi sssungguhnya tidak diminati oleh para investor dan hanya memboros-Boroskan anggaran negara APBN yang di dalam UU IKN tak ada? Berarti sesungguhnya tak begitu penting untuk negara?

Pun di sektor properti raksasa yang dilaksanakan oleh para perusahaan domestik oligarki berjubah RRC membangun kota-kota baru nyaris merata di seluruh pulau Indonesia di wilayah pantai justru berkecenderungan menjadi bentuk “negara dalam negara”.

Di dalamnya segala perputaran dan peredaran transaksi dengan digitalisasi mata uang yuan, tak memberi dampak benefit domestiknya yang berarti. Lagi-lagi dana itu menguap beterbangan ke luar negeri.

Ironisnya, yang sangat mengejutkan malah kebijakan pemerintah —seperti pembangunan kota baru di PIK I dan PIK II dimasukkan menjadi kategori pilot project proyek strategis nasional.

Sudah pasti dengan kebijakan statuta premia tersebut, para korporasi konglomerasi properti yangmerupakan bagian dari para oligarki itu akan mendapatkan banyak privilis yang lebih menggiurkan lagi.

Hal yang sama tengah melanda di sektor pariwisata. Bali sebagai wilayah garda terdepan bagi income andalan negara, sudah menggejala pula bakal dikangkangi oleh RRC-Tiongkok pula.

Oleh karena itu berdasarkan indikasi dan hal itu semua, ketika beberapa bulan lagi Prabowo akan dilantik menjadi Presiden menandai keberakhiran kekuasaan Presiden Jokowi, adalah suatu keniscayaan, rasional dan masuk akal jika program-program keberlanjutan Jokowi itu harus dihentikan tanpa kecuali.

Kemudian sesegera mungkin Prabowo menunjukkan bukti kemandirian kepemimpinannya kepada rakyat: mengeluarkan kebijakan untuk melindungi kondisi getas dan rawannya perekonomian dalam negeri tersebut.

Meskipun masih belum terimplementasikan adanya kejelasan sistem ekonomi Indonesia semenjak era kemerdekaan —sebagaimana pandangan ideologi ekonomi sesuai pasal 33 UUD 1945, paling tidak sesuai konteks keberkembangan zamannya dan disesuaikan kebutuhan kedaruratannya, diperlukan rancangan apa yang diistilahkan dengan RUU Kedaulatan Ekonomi dan yang tidak kalah penting pula menyertainya, RUU Digitalisasi yang masih langka dan tak tersentuh bagaimana upaya recovery dan proteksinya.

Maka, dengan hadirnya kedua RUU tetsebut akan menjadi alat kekuatan hukum ekonomi yang tujuannya melindungi kedaulatan perekonomian nasional. Sekaligus, menentukan solusi advokasi dan arbitrase berskala mondialnya pula bagi UU keduanya bilamana terjadi pelanggaran dan penyalahgunaannya oleh korporasi dan negara lainnya..

Jika perancangan RUU Kedaulatan Ekonomi dan RUU Digitalisasi itu tidak segera diadakan, maka itu dikuatirkan akan menjadi karma —alih-alih arasnya meneruskan program keberlanjutan Jokowi, adalah suatu keniscayaan bahwa Indonesia itu akan bangkrut, hancur dan bubar. Wallahu a’lam Bisshawab. (Mustikasari-Bekasi, 16 Juli 2024/RAF)

 

Facebook Comments Box
Open chat
Halo 👋
Mau Hubungi RASTRA.NEWS?